HUTAN ADAT, jantung kehidupan masyarakat adat yang dihancurkan
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Dari jumlah tersebut, AMAN juga memperkirakan bahwa 30 sampai 50 juta di antaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya. Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah mengembangkan konsep penguasaan/kepemilikan ( ) bersama (secara komunal) dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat juga memiliki sistem pengetahuan, hukum adat dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi secara bersama dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
PENEGAKAN HUKUM ADAT, benteng terakhir keberadaan hutan alam di Indonesia
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat.
Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Dari jumlah tersebut, AMAN juga memperkirakan bahwa 30 sampai 50 juta di antaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya. Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan hutannya maka pada umumnya telah mengembangkan konsep penguasaan/kepemilikan ( ) bersama (secara komunal) dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat sebagai hak bersama maka komunitas-komunitas adat juga memiliki sistem pengetahuan, hukum adat dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi secara bersama dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
PENEGAKAN HUKUM ADAT, benteng terakhir keberadaan hutan alam di Indonesia
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat.
Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat